Minggu, 05 Mei 2013

Tokoh Utama


            Film menyajikan kita realita yang patut diamati. Bila film tersebut fiksi belum pula fiksi, karena mungkin kisah itu pernah terjadi dalam hidup seseorang sekali waktu. Bahagia, takut, sedih, tertekan, dan berbagai emosi dalam film menjadi emosi kita pula dalam hidup.
 Sekali waktu pernah kita merasakan  emosi dan seolah semua tertimpa pada diri kita. Disaat sedang bahagia, seolah kita orang yang paling beruntung sedunia. Disaat tertimpa musibah, seolah kita orang yang paling sial sedunia.
Kita menyoroti diri kita sendiri, mengevaluasi, dan melakukan banyak hal yang tak terduga-duga. Tetapi semua seolah beruntun dan menuntun kita pada suatu takdir. Iya, Tuhan adalah sutradara kita, merangkap sebagai produser.
Tetapi Tuhan tidak pernah memberikan skripnya pada kita. Siapa tahu kita sedang berperan sebagai apa, antagonis, protagonist, siapa yang tahu.
Setiap situasi dalam drama kehidupan ini kita hanya butuh berperan sebaik mungkin. Kita menyoroti diri kita sendiri seolah kita melihat diri kita bermain dalam suatu drama dalam layar kaca. Karena setiap orang adalah tokoh utama dalam kisahnya masing-masing.
Oleh karena itu megapa orang menulis diary, blog, ataupun curhat, bukan karena narsisme tetapi merupakan ekspresi untuk menunjukan bahwa dirinya ada, sebagai tokoh utama yang berperan dalam kisahnya sendiri.
Terkadang lucu, bila dipikir tentang kisah kita lampau dan kisah kita mendatang yang tidak kita ketahui endingnya.
Hanya saja kita sendiri yang akan menentukan alur dan ending dalam film kita, apakah happy ending, apakah sad ending.
Tentu semua orang menginginkan happy ending. Tuhan telah menyusun alur ceritanya, mari kita berperan sebaik mungkin sebagai tokoh utama dalam hidup ini.

Kamis, 11 April 2013

Kritis itu Perlu Kawan, "Terminologi Kemiskinan II"



            Kemiskinan telah menjadi asset luar biasa bagi korporasi besar dunia kapitalis. Target MDGs bahwa tidak ada lagi kemiskinan lebih dari 7% pada 2015 didunia menjadi kedok bagi para kapitalis memperluas pasar industrinya. MDGs dijadikan alat para kapitalis memperkaya diri, tidak ada sebenarnya komitmen untuk mengentaskan kemiskinan menuju kemandirian.
            Mentas dari kemiskinan yang dimaksud sebenarnya bukan bertujuan demi terciptanya kemandirian, tetapi menciptakan ketergantungan. Negara berkembang dan terbelakang yang dibebani MDGs terpaksa dan terhasut untuk melakukan hutang luar negeri untuk memenuhi tuntutan pembangunan menurut MDGs.
            Pembangunan yang hanya berorientasi meningkatkan daya beli masyarakat, memandang bahwa ukuran dari mentasnya kemiskinan ialah kemampuan membeli barang-barang konsumsi untuk memenuhi kebutuhannya. Akibatnya Negara terus berhutang untuk meningkatkan pembangunan baik material sampai nonmaterial seperti pendidikan dan kesehatan. Padahal hasil pembangunan tersebut tidak sebanding dengan besarnya hutang.
            Hal ini disebabkan dana hidah tersebut terus mengalir tanpa henti pada Negara berkembang, bahkan tanpa paksaan untuk Negara berkembang segera melunasi hutangnya, disertai dengan masifnya produk-produk industri Negara maju. Kesejahteraan dikonstruksikan oleh Negara maju dengan gambaran kesejahteraan telah dicapai bila masyarakat Negara berkembang telah mampu membeli produk dan mengakses layanan Negara maju.         
            Akibat konstruksi ini, kebutuhan masyarakat semakin meningkat, tetapi hasil pembangunan tidak sebesar peningkatan kebutuhan. Negara berkembang pun semakin tergantung terhadap hutang luar negeri, yang digunakan untuk pembangunan berorientasi peningkatan daya beli, tentu saja membeli barang-barang produksi Negara maju yang telah memberikan hutang melalui lembaga keuangan dunia.
            Dorongan Negara maju kepada Negara berkembang untuk mengentaskan kemiskinan sesuai ketentuan MDGs tersebut, dalam artian tidak miskin lagi untuk membeli produk-produk industry Negara maju. Dalam system ini, para kapitalis dan Negara maju akan semakin kaya, tetapi orang miskin dan Negara berkembang akan semakin ketergantungan dan konsumtif.        

Kritis itu Perlu Kawan, "Terminologi Kemiskinan 1"



        Kemiskinan timbul bersamaan dengan perkembangan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, terutama ditinjau dari segi kepemilikan barang material seperti harta, tanah, fasilitas, dan lain-lain. Pada masa tradisional kepemilikan material ini tidak akan menimbulkan kemiskinan, karena konsep kepemilikan masyarakat tradisional lebih pada “communal property right”, dimana masyarakat tidak mengenal kepemilikan individu atas tanah, karena tanah adalah asset milik semua. Tetapi seiring perkembangan industrialisasi Negara yang terlebih dahulu maju, maka bergeserlah konsep kepemilikan dari “communal property right” kepada “individual property right”.
Individual property right ini, menimbulkan keserakahan untuk memiliki barang secara individu, hingga komunalitas berkurang, disamping itu harga-harga semakin melambung karena masyarakat selalu ingin lebih dan lebih. Akhirnya muncul ketimpangan antara orang yang mampu memiliki sebagai orang kaya dan orang yang tidak mampu memiliki sebagai orang miskin.
Selain itu, berdasarkan working paper “Ketidakberdayaan para pihak melawan konstruksi neoliberalisme” sekilas dijelaskan bahwa, orang miskin juga ditimbulkan oleh pembangunan yang berorientasi pada material. Akibatnya Negara harus berhutang kepada IMF atau Bank Dunia untuk proyek pembangunan, karena pembangunan hanya bertujuan untuk menciptakan daya beli masyarakat. Hingga munculah program karitatif seperti BLT dan Raskin yang justru menimbulkan ketergantungan untuk meminta lalu membeli bukannya kemandirian untuk berusaha dan berproduksi. Miskinnya konsep pembangunan tersebut menyebabkan si miskin sulit mentas dari kemiskinan.
Pembangunan hanya memandang kesejahteraan berdasarkan kemampuan daya beli, sehingga orang yang miskin ialah orang yang tidak mampu membeli. Padahal tidak demikian, dikala orang yang dianggap miskin menurut MDGs ternyata tidak merasa miskin karena dia merasa aman, bahagia dan berkecukupan, karena komunitas sekitarnya ialah komunitas komunal yang saling menutupi kekurangan dengan prinsip resiprositas.
Konsep seperti ini juga dapat menimbulkan terminology orang miskin secara kurang tepat. Akibatnya pengampu program pengentasan kemiskinan bekerja secara pragmatis bahkan rawan korupsi. Pengampu program hanya berfikir yang penting tugas selesai, memberikan secara percuma pada masyarakat agar masyarakat bisa mengkonsumsi, bukannya memberdayakan masyarakat sehingga mereka bisa mentas dari kemiskinan menuju sejahtera menurut potensi local yang ada. Bila hal ini terus berlanjut, rantai kemiskinan tidak akan terputus, justru menimbulkan ketergantungan dan timbulnya orang-orang miskin baru, diakibatkan struktur kebijakan yang sebenarnya membuat mereka miskin.

Jumat, 29 Maret 2013

Gak Mau Pusing Mikirin Aliran Agama, yang Penting Santai

Dalam sebuah Hadist dijelaskan, Rosulullah menerangkan bahwa umat Islam pada akhir zaman akan terpecah-pecah menjadi Sembilan puluh Sembilan aliran. Tetapi diantara sekian banyak hanya satu yang menjadikan syariat Islam sebagai landasan, dan hanya satu itulah aliran Islam yang lurus.
    Bukan bermaksud apa-apa, tapi landasan tersebut banyak dijadikan dalih aktor untuk mengklaim alirannya lah yang paling benar. Ajaran-ajaran dan syariat-syariat yang diterapkannya lah yang diridhoi Allah. Bahkan tak jarang diantara aliran yang paling merasa benar sendiri itu mendoktrin aliran lain sebagai sesat atau kafir.
    Peristiwa semacam ini banyak melatar belakangi perselisihan diantara umat Islam, sejak masa meninggalnya Rosulullah hingga saat ini. Bahkan hingga menelan korban diantara kaum muslimin. Dalam beberapa dasa warsa Indonesia pernah mengalami hal ini, iih amit-amit coy jangan sampai kejadian lagi deh amin…
    Sebagai Negara yang mayoritas beragama Islam, Indonesia memiliki berbagai macam aliran yang mungkin jumlahnya sudah Sembilan puluh Sembilan(wah kalau hadist di atas bener berarti Indonesia sebentar lagi akhir zaman dong coy,, yuhu kiamat,, kapan lagi bisa nonton gunung berterbangan kayak kapas). Diantara sekian banyak aliran terdapat dua aliran besar yang tidak asing lagi, yaitu Nahdatul Ulama(NU) dan Muhammadiyah.
    Kedua aliran ini telah mendarah daging dalam sistim keagamaan di Indonesia, baik disadari maupun tidak disadari oleh umat Islam, karena intensitas pendidikan agama yang diperoleh masing-masing individu berbeda.  Saya sendiri sadar gak sadar pernah juga dapet pendidikan tentang ini, terutama NU karena saya lahir dikalangan keluarga dan lingkungan NU.
    System peribadatan dan religiusitas NU sendiri sangat berbeda dengan Muhammadiyah(gak perlu disebutkan ya, bukan bermaksud cari perbedaan). Saya pernah mengikuti ceramah keagamaan terutama dalam hal fiqih. Dimana ceramah tersebut dihadiri oleh fanatik NU, dan memang ditujukan untuk sosialisasi pendalaman aliran NU.
     Dijelaskan berbagai hal, salah satunya tata cara peribadatan dalam Sholat Jumat NU yang berbeda dari tata cara peribadatan Sholat Jumat Muhammadiyah. Contoh kasus, apabila seorang NU harus mengikuti sholat Jumat dikalangan Muhammadiyah dengan tata cara dan persyaratan yang tidak sesuai dengan NU, maka seorang NU itu harus Sholat Dhuhur lagi dirumah.
    Yah tidak semua kalangan NU kayak gitu lah, tapi ini fakta coy. Pengaruhnya ada lho, dulu semasa MAN(sama kayak SMA) ada beberapa teman saya menerapkan banget kepercayaan alirannya, itu baik coy berarti dia punya pegangan. Tetapi sayangnya tanggapan dia terhadap aliran lain kurang positif, padahal Tuhan, Nabi, Kitab Suci, Rukun Islamnya sama coy..
    Perbedaan-perbedaan dalam aliran ini membawa pada sikap, perilaku, pergaulan, kebiasaan dan penampilan yang berbeda-beda pula. Dari setiap masing-masing terdapat kepercayaan yang melandasi hubungan transcendental , yang dapat digunakan untuk mengklaim mana yang benar, kurang benar, dan salah.
    Tidak semua orang yang mempercayai aliran, fanatic dan saklek banget kayak diatas lah coy, tapi itu realita, fakta. Tapi sebenarnya itu semua hanyalah keindahan dalam perbedaan lah ya. Yang punya kepercayaan dan fanatic silahkan pegang teguh deh, asal itu tidak menjadikan alasan untuk menutup diri dari kehidupan sosial yang positif lah coy, demi bangsa.
    Negara ini Negara demokrasi, kita juga demokratis dalam beragama dan menganut aliran(ada di UUD kan coy, aduh pasal berapa ya, tu pasal keren banget deh pokoknya). Kalau ada perbedaan yah selesaikan dengan bijak lah, jangan pakai kekerasan gitu kan sakit kalo dipukul coy..  Mbok sekali-kali kita cobalah musyawarah untuk tidak sepakat, bolehkan ya. Yang penting semua tetap saling menghormati dan tidak merugikan.
    Tapi gini coy, sebagai pemuda yang pernah galauin agama(gak cuma galau cewek aja lah coy, sekali-kali bolehlah galauin agama, galaukan harus bervariasi..). Saya pernah apatis banget sama agama saya, yah galaunya pemuda sama agama pasti dilatar belakangi dari kehidupan pribadi dan hubungan sosial sehari-hari dia lah itu pasti, gak lah kita mikirin agama banget-banget tanpa dikaitin dengan masalah dunia.
    Temen saya ada lho galauin agama sampai dia udah gak usah sholat aja, ya kayak atheis gitu jadinya, ada juga yang akhirnya mutusin pindah agama. Kalau saya galau Alhamdulillah ya gak sampai seperti itu, walaupun sebagian dari kalian mungkin ada yang pernah lihat saya hari minggu di Gereja, yah bukan bermaksud apa-apa lah coy, tapi karena saya ingin lebih menjiwai toleransi umat beragama.
    Kembali ke aliran-aliran dalam agama Islam ya coy, pernah gak kalian mikir(bagi yang tertarik mikirin agamanya tentunya) kalau sebenarnya aliran-aliran yang ada itu sebenarnya malah membatasi kita untuk mengetahui agama. Dengan aliran-aliran itu membatasi kita untuk beribadah terhadap sesama. Agama Islam itu udah dikotak-kotakan oleh aliran-aliran itu, dengan syariat-syariat dan prinsip yang melarang dan mengukung, karena keluar dari situ dosa katanya(coba deh kaitin sama konsep Marx agama sebagai candu).
    Apakah pahala dan dosa hanya sebatas pada syariat-syariat dan prinsip tersebut, malah sebagian syariat dan prinsip untuk memperoleh pahala justru mendekatkan pada dosa, atau juga sebaliknya. Yah siapa yang tahu ya, manusia mah harusnya gak usah pusing-pusing mikirin pahala dan dosa, cuma Tuhan yang tau mana yang pahala dan mana yang dosa sebenarnya. Yang penting kita tetap berbagi kebaikan pada sesama, ikuti hati nurani, dan bersyukur aja lah yang penting.
    Kalau agama dikungkung-kungkung mah malah nanti banyak orang yang mutusin apatis sama agama. Agama kan sebagai obat penenang, kasihan kan kalau orang itu seumur hidupnya kacau karena tidak punya obat penenang.
    Bolehlah belajar syariat dan prinsip aliran bagi yang punya, itu baik banget coy. Asalkan tidak saling menghakimi dan mengkambing hitamkan. Atau yang saat ini lagi mutusin gak ngikut atau keluar dari aliran dan mahzab-mahzab tertentu kayak saya, ya ayolah saling menghormati yang punya aliran, ikut ibadah sini ibadah sana gak papalah namanya juga bersyukur atas hidup ya gak coy. Menganut berbagai aliran okelah, yang penting gak menganut berbagai agama aja lah, haha ntar KTPnya penuh..
    Kalau di tulisan ini ada yang nyinggung perasaan ya maaf-maaf kata deh.. Namanya juga manusia, sekali-kali khilaf boleh ya.. Udah aja ya Assalamualaikum,, selamat menempuh hidup baru..







Santai, Gerbang Kesuksesan

Kalau saya ditanya apa kelebihan saya, selain dari berbagai kelebihan yang banyak dan cihui itu, saya tidak lupa untuk menyertakan santai sebagai salah satu kelebihan saya. Kalau ada yang nanya “Kanapa kelebihan kok santai, bukannya itu malah gak kompetitif ya” (ada aja yang berpendapat seperti ini).
    Saya sih jawabnya, “santai itu seni menikmati hidup, mengarahkan segala senang dan dukanya, mudah dan susahnya, baik dan buruknya, dengan ekspresi yang tidak berlebihan, dengan sikap apresiasi yang wajar tapi tetap berkesan bila hal itu positif, dan dengan sikap yang tenang dan pikiran positif bila hal itu negative”.
    Pada dasarnya segala yang ada di dunia ini gak ada yang negative(dalam matematika itu bukan negative, tapi minus). Segala yang terasa gak nyenengin itu bukan negative, tapi hanya positif yang tertunda.

    Nyantai aja coy bila kamu saat ini ngrasa ada yang gak nyenengin di hati kamu, kayak didamprat dosen sampai muncrat-muncrat, ditolak putus atau diphpin cewek, dikejar deadline sampai kerjaan numpuk-numpuk, atau nganggur padahal kantong ludes.
    Atas gejala kronis kayak diatas(yang juga pernah menimpa saya, dan sebagian masih ada yang belum sembuh), ya wajar lah coy manusia.. semua pasti ada fasenya. Tapi yang paling penting adalah bagaimana kita menyikapi hal itu. Kalau saya pribadi, berusaha menyikapi hal tersebut secara santai..
    Misal ya dari contoh kasus diatas ya, kalau didamprat dosen apapun sebabnya ya jangan takut, kita harus tetep senyum manis(sambil keliatan gigi-gigi kita kalau perlu) walaupun sampai ujan(bocor-bocor), kita harus tetep santai..
    Selanjutnya bila ditolak, putus atau diphpin cewek kita gak boleh tegang dan tertekan coy, santai, tetep senyum, rileks(asal jangan saking rileksnya sampai pingsan, gak enak kan coy kesannya, gak menly banget deh).
    Terus bila dikejar deadline, ini malah sederhana banget coy. Udahlah santai.. gak usah terlalu dipikirin deadline itu, penting kerjain aja dengan perasaan senang.. kalau ngerjain dengan perasaan senang kan pikiran jadi cerah, kerjaan lancar..
    Terakhir ya.. kalo nganggur, ya kerjalah., cari duit, halal lho jangan lupa.. makannya jangan males-malesan biar gampang rizkinya, masak gitu aja dikasih tahu..
    Makanya coy.. santai itu harus ditanamkan dalam hati kita. Hidup memang penuh perjuangan dan kekecewaan, tapi jangan lupa hidup juga penuh kebahagiaan dan kemudahan. Jangan terlalu diambil hati bila ada masalah, kayak kata Steven and Coconudtrees, "kamu sakit hati, frustasi, karena kurang santai.."
    Santai itu tentang bagaimana kita bersikap coy,, tetapi usaha tetap semangat gegap gempita(huwaa... langsung jadi super saiya 3, hehe).