Kamis, 11 April 2013

Kritis itu Perlu Kawan, "Terminologi Kemiskinan II"



            Kemiskinan telah menjadi asset luar biasa bagi korporasi besar dunia kapitalis. Target MDGs bahwa tidak ada lagi kemiskinan lebih dari 7% pada 2015 didunia menjadi kedok bagi para kapitalis memperluas pasar industrinya. MDGs dijadikan alat para kapitalis memperkaya diri, tidak ada sebenarnya komitmen untuk mengentaskan kemiskinan menuju kemandirian.
            Mentas dari kemiskinan yang dimaksud sebenarnya bukan bertujuan demi terciptanya kemandirian, tetapi menciptakan ketergantungan. Negara berkembang dan terbelakang yang dibebani MDGs terpaksa dan terhasut untuk melakukan hutang luar negeri untuk memenuhi tuntutan pembangunan menurut MDGs.
            Pembangunan yang hanya berorientasi meningkatkan daya beli masyarakat, memandang bahwa ukuran dari mentasnya kemiskinan ialah kemampuan membeli barang-barang konsumsi untuk memenuhi kebutuhannya. Akibatnya Negara terus berhutang untuk meningkatkan pembangunan baik material sampai nonmaterial seperti pendidikan dan kesehatan. Padahal hasil pembangunan tersebut tidak sebanding dengan besarnya hutang.
            Hal ini disebabkan dana hidah tersebut terus mengalir tanpa henti pada Negara berkembang, bahkan tanpa paksaan untuk Negara berkembang segera melunasi hutangnya, disertai dengan masifnya produk-produk industri Negara maju. Kesejahteraan dikonstruksikan oleh Negara maju dengan gambaran kesejahteraan telah dicapai bila masyarakat Negara berkembang telah mampu membeli produk dan mengakses layanan Negara maju.         
            Akibat konstruksi ini, kebutuhan masyarakat semakin meningkat, tetapi hasil pembangunan tidak sebesar peningkatan kebutuhan. Negara berkembang pun semakin tergantung terhadap hutang luar negeri, yang digunakan untuk pembangunan berorientasi peningkatan daya beli, tentu saja membeli barang-barang produksi Negara maju yang telah memberikan hutang melalui lembaga keuangan dunia.
            Dorongan Negara maju kepada Negara berkembang untuk mengentaskan kemiskinan sesuai ketentuan MDGs tersebut, dalam artian tidak miskin lagi untuk membeli produk-produk industry Negara maju. Dalam system ini, para kapitalis dan Negara maju akan semakin kaya, tetapi orang miskin dan Negara berkembang akan semakin ketergantungan dan konsumtif.        

Kritis itu Perlu Kawan, "Terminologi Kemiskinan 1"



        Kemiskinan timbul bersamaan dengan perkembangan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, terutama ditinjau dari segi kepemilikan barang material seperti harta, tanah, fasilitas, dan lain-lain. Pada masa tradisional kepemilikan material ini tidak akan menimbulkan kemiskinan, karena konsep kepemilikan masyarakat tradisional lebih pada “communal property right”, dimana masyarakat tidak mengenal kepemilikan individu atas tanah, karena tanah adalah asset milik semua. Tetapi seiring perkembangan industrialisasi Negara yang terlebih dahulu maju, maka bergeserlah konsep kepemilikan dari “communal property right” kepada “individual property right”.
Individual property right ini, menimbulkan keserakahan untuk memiliki barang secara individu, hingga komunalitas berkurang, disamping itu harga-harga semakin melambung karena masyarakat selalu ingin lebih dan lebih. Akhirnya muncul ketimpangan antara orang yang mampu memiliki sebagai orang kaya dan orang yang tidak mampu memiliki sebagai orang miskin.
Selain itu, berdasarkan working paper “Ketidakberdayaan para pihak melawan konstruksi neoliberalisme” sekilas dijelaskan bahwa, orang miskin juga ditimbulkan oleh pembangunan yang berorientasi pada material. Akibatnya Negara harus berhutang kepada IMF atau Bank Dunia untuk proyek pembangunan, karena pembangunan hanya bertujuan untuk menciptakan daya beli masyarakat. Hingga munculah program karitatif seperti BLT dan Raskin yang justru menimbulkan ketergantungan untuk meminta lalu membeli bukannya kemandirian untuk berusaha dan berproduksi. Miskinnya konsep pembangunan tersebut menyebabkan si miskin sulit mentas dari kemiskinan.
Pembangunan hanya memandang kesejahteraan berdasarkan kemampuan daya beli, sehingga orang yang miskin ialah orang yang tidak mampu membeli. Padahal tidak demikian, dikala orang yang dianggap miskin menurut MDGs ternyata tidak merasa miskin karena dia merasa aman, bahagia dan berkecukupan, karena komunitas sekitarnya ialah komunitas komunal yang saling menutupi kekurangan dengan prinsip resiprositas.
Konsep seperti ini juga dapat menimbulkan terminology orang miskin secara kurang tepat. Akibatnya pengampu program pengentasan kemiskinan bekerja secara pragmatis bahkan rawan korupsi. Pengampu program hanya berfikir yang penting tugas selesai, memberikan secara percuma pada masyarakat agar masyarakat bisa mengkonsumsi, bukannya memberdayakan masyarakat sehingga mereka bisa mentas dari kemiskinan menuju sejahtera menurut potensi local yang ada. Bila hal ini terus berlanjut, rantai kemiskinan tidak akan terputus, justru menimbulkan ketergantungan dan timbulnya orang-orang miskin baru, diakibatkan struktur kebijakan yang sebenarnya membuat mereka miskin.