Kemiskinan timbul bersamaan dengan
perkembangan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, terutama
ditinjau dari segi kepemilikan barang material seperti harta, tanah, fasilitas,
dan lain-lain. Pada masa tradisional kepemilikan material ini tidak akan
menimbulkan kemiskinan, karena konsep kepemilikan masyarakat tradisional lebih
pada “communal property right”, dimana masyarakat tidak mengenal kepemilikan
individu atas tanah, karena tanah adalah asset milik semua. Tetapi seiring
perkembangan industrialisasi Negara yang terlebih dahulu maju, maka bergeserlah
konsep kepemilikan dari “communal property right” kepada “individual property
right”.
Individual property
right ini, menimbulkan keserakahan untuk memiliki barang secara individu,
hingga komunalitas berkurang, disamping itu harga-harga semakin melambung
karena masyarakat selalu ingin lebih dan lebih. Akhirnya muncul ketimpangan
antara orang yang mampu memiliki sebagai orang kaya dan orang yang tidak mampu
memiliki sebagai orang miskin.
Selain itu, berdasarkan
working paper “Ketidakberdayaan para pihak melawan konstruksi neoliberalisme”
sekilas dijelaskan bahwa, orang miskin juga ditimbulkan oleh pembangunan yang
berorientasi pada material. Akibatnya Negara harus berhutang kepada IMF atau
Bank Dunia untuk proyek pembangunan, karena pembangunan hanya bertujuan untuk
menciptakan daya beli masyarakat. Hingga munculah program karitatif seperti BLT
dan Raskin yang justru menimbulkan ketergantungan untuk meminta lalu membeli
bukannya kemandirian untuk berusaha dan berproduksi. Miskinnya konsep
pembangunan tersebut menyebabkan si miskin sulit mentas dari kemiskinan.
Pembangunan hanya
memandang kesejahteraan berdasarkan kemampuan daya beli, sehingga orang yang
miskin ialah orang yang tidak mampu membeli. Padahal tidak demikian, dikala
orang yang dianggap miskin menurut MDGs ternyata tidak merasa miskin karena dia
merasa aman, bahagia dan berkecukupan, karena komunitas sekitarnya ialah
komunitas komunal yang saling menutupi kekurangan dengan prinsip resiprositas.
Konsep seperti ini juga
dapat menimbulkan terminology orang miskin secara kurang tepat. Akibatnya
pengampu program pengentasan kemiskinan bekerja secara pragmatis bahkan rawan
korupsi. Pengampu program hanya berfikir yang penting tugas selesai, memberikan
secara percuma pada masyarakat agar masyarakat bisa mengkonsumsi, bukannya
memberdayakan masyarakat sehingga mereka bisa mentas dari kemiskinan menuju
sejahtera menurut potensi local yang ada. Bila hal ini terus berlanjut, rantai
kemiskinan tidak akan terputus, justru menimbulkan ketergantungan dan timbulnya
orang-orang miskin baru, diakibatkan struktur kebijakan yang sebenarnya membuat
mereka miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar